Menangguk Uang dari Misinformasi di Indonesia – Berbekal Umpan Dapat Uang Gratis dan Klik Gratis

Penyebar berita bohong dan palsu di Indonesia meraup untung dari misinformasi, bisakah hal ini diperbaiki?

Keberadaan model bisnis baru seperti Google Adsense yang memberikan pendapatan berupa insentif dari banyaknya klik pada suatu artikel, di satu sisi memberi harapan pada banyak orang untuk memperoleh penghasilan alternatif. Namun sisi gelapnya adalah memicu disinformasi di Indonesia, demi meningkatkan jumlah klik pengunjung artikel, pebisnis memproduksi dan menyebarluaskan berita yang belum diverifikasi.

Disebut sebagai ‘model inkubator’, skema ini menghasilkan uang dengan menjadi tuan rumah bagi sejumlah situs berita kecil yang menghasilkan artikel dalam jumlah besar setiap hari dengan tim editor yang sangat kecil. Artikel-artikel tersebut, yang diproduksi dalam batasan waktu yang ketat, tidak menjalani pemeriksaan atau pemeriksaan fakta apa pun.

Pembayaran didasarkan pada tampilan halaman dan pendapatan yang dihasilkan dari Google AdSense, yang mengotomatiskan penempatan iklan dan memberi penghargaan kepada situs web host ketika iklan diklik.

Setiap website inkubator membutuhkan setidaknya tiga orang untuk berperan sebagai editor, bertanggung jawab memproduksi berita dan mengawasi website. Pebisnis menetapkan target agar setiap redaksi menerbitkan minimal 100 artikel per hari dan mengikuti resep yang ditetapkan oleh tim inkubator untuk memainkan algoritma — mengikuti rekomendasi konsol pencarian Google, Google Analytics, dan Google Trends.

Di lingkup bisnis ini, kuantitas adalah raja. Hanya ada sedikit perhatian dalam menetapkan agenda berita, menghasilkan tulisan yang baik, atau memverifikasi informasi yang dipublikasikan. Pembuat konten bahkan ‘mendaur ulang’ konten yang diterbitkan sebelumnya dengan mengubah judul dan paragraf pertama, lalu menjadikannya sebagai cerita baru.

Semakin efisien sebuah cerita dibuat, semakin cepat pembuat konten dapat memproduksi karya berikutnya.

Mengadopsi metode baru dalam produksi konten memungkinkan pebisnis inkubator mengumpulkan informasi dari sumber online lainnya, termasuk situs asing, media sosial, status WhatsApp, dan pesan instan. Mereka dapat membina para pembuat konten untuk mengembangkan banyak website kecil dibandingkan mempekerjakan jurnalis.

Dari sudut pandang pembuat konten dan mitra model inkubator, praktik tersebut dianggap lebih mirip dengan bentuk perbudakan modern. Beberapa informan menceritakan praktik predator dan eksploitatif dalam model tersebut.

Mereka menuduh pembuat konten tidak menerima gaji, tunjangan, atau asuransi kesehatan apa pun dari pebisnis inkubator. Honornya hanya berdasarkan pada share traffic dan Google AdSense yang dihasilkan dari artikel mereka.

Model pendapatan bayar per klik ini mendorong para penulis untuk memproduksi konten dengan cepat, dan tindakan seperti pengecekan fakta hanya memperlambat mereka. Mendaur ulang artikel dengan menyalin, menempel, dan menyesuaikan juga efisien dan cepat.

Model inkubator biasanya menyasar audiens muda, mempromosikan inkubator sebagai cara baru bagi kaum muda untuk menghasilkan uang.

Misalnya, seorang pembuat konten berprestasi pada tahun 2021 menghasilkan honor sebesar Rp 160 juta (USD$10.301), setara dengan 88 kali upah minimum di Jawa Barat. Penciptanya rupanya menghasilkan 400 artikel dalam sebulan, sekitar 15 artikel per hari.

Memperkuat informasi yang tidak terverifikasi mempunyai konsekuensi, seperti yang dilihat Indonesia dalam perdebatan polarisasi pada tahun 2021 tentang Islam versus Pancasila, ideologi negara yang baru-baru ini memicu kemarahan kaum konservatif.

Pada saat perdebatan berlangsung, situs web inkubator dapat memposting sekitar 197 artikel per hari, menjadikannya situs berita Indonesia paling produktif di platform tersebut.

Sebagian besar postingan adalah artikel yang mengandalkan pernyataan politisi dan influencer media sosial, yang diposting tanpa verifikasi atau tantangan. Banyak yang memuat opini, asumsi, spekulasi, ujaran kebencian, dan tuduhan terkait Pancasila dan Islam, Palestina dan Israel, serta badan antikorupsi Indonesia, KPK.

Kekuatan pengusaha web inkubator dalam menyebarkan disinformasi dan propaganda di Indonesia juga terlihat jelas dalam liputan perang Rusia-Ukraina.

Percakapan “Rusia-Ukraina” terdapat di Facebook dan Instagram selama 12 bulan dan mulai Maret 2022.

Dari 102.003 postingan terkait yang dibuat di halaman Facebook Indonesia selama 12 bulan, 28.034 (27,48 persen) diunggah oleh salah satu web inkubator. Sementara dari sekitar 10.000 unggahan di Instagram, sebanyak 2.555 (25,5 persen) berasal dari akun tersebut. Hasil pencarian YouTube untuk video tentang Rusia dan Ukraina juga didominasi oleh web inkubator ini.

Dengan banyaknya konten yang harus diproduksi, verifikasi sumber menjadi sulit. Misinformasi atau disinformasi lolos. Terdapat kesalahan akibat pihak web inkubator tidak kritis melaporkan sumber-sumber yang tidak dapat dipercaya mengenai pembantaian di Bucha, Ukraina.

Salah satu disinformasi yang paling banyak dibagikan adalah bahwa Rusia meyakini Ukraina merekayasa pembantaian warga sipil di Bucha.

Investigasi menunjukkan bahwa pembantaian di Rusia memang terjadi. Namun tetap saja si web inkubator ini mengunggah video di akun YouTube dan TikTok miliknya, yang berasal dari sumber yang tidak terbukti atau akun yang menyebarkan propaganda Rusia.

Survei nasional mengenai misinformasi pada bulan Oktober 2023 yang dirilis oleh Center for Strategic and International Studies menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan tertinggi terhadap media online (86,7 persen), diikuti oleh media sosial (64 persen) dan hasil pencarian Google (63,6 persen).

Sejak tahun 2018, Google melalui Google News Initiatives di Indonesia telah secara aktif melatih organisasi media mengenai monetisasi situs web, memaksimalkan keuntungan, dan mencapai pertumbuhan berkelanjutan.

Dengan kata lain, program ini dirancang untuk mengajarkan pemilik situs web untuk memaksimalkan keuntungan, bukan fokus pada menghasilkan jurnalisme yang baik. Verifikasi itu mahal — memerlukan waktu, keterampilan, dan sumber daya.

Memiliki jurnalisme berkualitas tinggi bahkan lebih mahal. Google harus membedakan insentif untuk jurnalisme kuning dan jurnalisme berkualitas tinggi.

Masyarakat kita, terutama generasi muda membutuhkan perhatian, bimbingan dan pendampingan dari orang tua, pendidik juga pemerintah, karena mereka sangat rentan dalam memperoleh konten-konten atau informasi negatif terutama dari media sosial, yang akan berpengaruh pada cara

berperilaku mereka.

Hal ini menjadikan literasi digital semakin dibutuhkan sebagai salah satu program utama untuk

memberikan edukasi dan juga advokasi bagi para pengguna internet, khususnya pengguna media sosial.

Setiap orang harus memiliki tanggung jawab atas penggunaan teknologi untuk berinteraksi atau berkomunikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Konten di media yang berisi berita bohong, bertipu daya, mengandung ujaran kebencian bahkan radikalisme dapat mengganggu ekosistem digital yang ada dengan menciptakan pemahaman dari tiap-tiap individu pengguna.

Literasi digital pada umumnya terbatas pada penggunaan media yang ditunjang dengan teknologi informasi dan komunikasi. Literasi digital mencakup banyak hal mulai dari pengorganisasian, penyajian informasi dan visualisasi hingga evaluasi informasi. Literasi digital meliputi berbagai literasi sehingga menjadi lebih kompleks. Sama halnya dengan literasi media, literasi digital juga memerlukan kemampuan menganalisis dan evaluasi secara kritis sehingga memperoleh pemahaman yang berkualitas.

Pendidikan literasi digital dapat dimulai dari mengasah keterampilan dalam membaca konten, dengan rajin membaca konten, maka penggunaan literasi digital untuk pemahaman konten akan lebih kritis.

Sumber:

Restianty, A., 2018, “Literasi Digital, Sebuah Tantangan Baru Dalam Literasi Media”, GUNAHUMAS, Volume I Nomor 1 Edisi Agustus 2018, ISSN-2655-1551.

Related Posts

Transformasi Tenaga Kerja: Bagaimana AI Mengubah Lanskap Pekerjaan

Kecerdasan Buatan (AI) telah mengalami perkembangan pesat sejak konsep awalnya pada pertengahan abad ke-20. Dimulai dari algoritma sederhana yang mampu melakukan tugas dasar, AI kini telah mencapai…